Bukit Mawar
Namanya Arjuna. Laki-laki, kurus,
bujangan, 45 tahun-an. Ada yang memanggilnya ”Mas Ar”, ada juga yang
memanggilnya dengan ”Kang Juna”. Siapa yang benar? Kurasa dua-duanya benar,
karena Arjuna hanya tersenyum.
Ketika ada yang penasaran mengapa
dia diberi nama Arjuna, laki-laki itu hanya tersenyum ramah. Lalu, biasanya,
dia akan melanjutkan dengan suaranya yang ragu dan sedikit gemetar bahwa itu
pilihan ibunya. Ibunya hanya penjual bunga di makam.
”Apa ibu sampean penggemar wayang?”
ada saja yang bertanya begitu.
”Saya tidak tahu. Dan saya juga
tidak tertarik untuk bertanya,” jawabnya seperti biasa.
Arjuna juga tidak setampan yang
dibayangkan banyak gadis; paling tidak itu yang dialaminya dulu ketika masih
remaja. Wajahnya berkesan layu, apalagi dengan rambutnya yang lurus tipis dan
selalu berantakan. Belum lagi ada beberapa bopeng bekas cacar semasa bocah,
maka Arjuna sangat jauh dari bayangan kegantengan pemuda idola.
Dia sahabat sepermainanku, sejak
masa belum sekolah, kemudian taman kanak-kanak, ngaji bersama, sampai kelas 3
sekolah dasar. Setelah itu, kami terpisahkan oleh nasib orangtua kami.
Maksudku, aku terpaksa pindah ke Jakarta dan dia tetap di sana. Akan tetapi
nasib pula yang mempertemukan kami di tempat ini. Aku tinggal di dekat Bogor,
dan ketika aku dan istri iseng-iseng mencari tanaman untuk rumah baru kami, aku
dipertemukan dengan Arjuna.
Begitulah, tanpa upacara, nyaris
tanpa kata, aku bertemu dengan Arjuna, yang masih kurus, layu dan wajah
berbopeng luka cacar. Namun sejak itu—dua tahun lalu—aku sering bertandang ke
kediaman sekaligus kebunnya.
***
Arjuna dan mawar memang tak
terpisahkan. Maksudku, Arjuna adalah sahabatku, dan siapakah mawar? Bukan
siapa-siapa, karena memang bukan manusia, tetapi tanaman. Mawar kampung.
”Kenapa?” tanyaku, suatu kali.
”Apanya yang kenapa?” jawabnya
sambil membuat wadah dari sabut kelapa dan pelepah pisang untuk bibit.
Tangannya sangat terampil menciptakan wadah-wadah sederhana itu.
”Mawar. Kenapa bukan Anthurium, atau
Anggrek Hitam, misalnya?”
”Sudah pernah dan ketika anthurium
merajai pasaran, aku bisa beli tanah ini, seluas ini,” ujarnya datar saja,
tetap berkonsentrasi pada pekerjaannya. Kupandangi tanah seluas seribu meter
persegi di tepi jalan itu. Ada patok-patok kayu.
”Mereka mau membangun mal,” ucapnya
dingin.
”Maksudmu?”
”Mereka memaksaku untuk menjual
tanah ini dan membangun mal di atas lahan ini.”
”Hmm… kalau harganya bagus, kenapa
tidak dilepas.”
”Harganya bagus. Tapi aku tidak mau
melepas.”
”Kenapa?”
Dia diam, menarik nafas dalam-dalam
dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. ”Lantas di mana aku menanam
mawar-mawarku?”
***
Sepulangku dari kediaman Arjuna, aku
tak bisa tidur. Aneh, manusia satu itu. Kuperkirakan, dia bisa mengantungi
sedikitnya dua miliar; dengan luas dan posisi dekat jalan raya, dan dengan uang
itu dia bisa membeli tanah yang lebih luas…lebih daripada cukup kalau untuk
menanam mawar kampung! Gila.
Tapi, entah mengapa, aku diserang
rasa gelisah. Ada yang begitu murni, bodoh—mungkin—, dan rasa cinta yang tulus,
ketika dia mempertanyakan di mana akan menanam mawarnya. Ah, jangan-jangan aku
sudah tertular penyakit gila yang dideritanya. Sangat tidak masuk akal. Sangat
bodoh.
***
Beberapa bulan berlalu, aku tidak
main ke rumahnya. Mungkin karena jengkel, mungkin juga karena merasa berhadapan
dengan orang sinting, aku tidak berminat menemuinya. Tapi, mungkin juga karena
aku memang ditelan kesibukan pekerjaan. Aku harus mengawasi proyek, yang
kadang-kadang membuatku berhari-hari di luar kota. Ketika pulang pun, aku hanya
bisa bertemu dengan kesunyian rumah dan si Min, pembantu kami, karena istriku
pun ditelan kesibukan kantornya, dan saat itu dia di Makassar.
”Dua hari yang lalu, ada orang ke
rumah, nyari bapak…” ujar Min sambil membongkar tasku.
Aku diam, mencoba menikmati
kehampaan yang tiba-tiba menganga ini. Kusimak pembicaraan Min dan aku tahu
bahwa orang itu pastilah Arjuna. Apalagi ketika kutanyakan apakah di wajahnya
ada bekas bopeng cacar dan Min mengiyakan sambil tertawa, aku yakin, orang itu
pasti Arjuna.
”Keberatan nama Pak, Arjuna, kok, nyekingkring.”
tambahnya sambil tertawa geli sendiri.
”Ada pesan apa?”
”Ndak ada…dia cuma bilang,
’o, ya, sudah’…terus pulang.”
***
Lama setelah itu, aku masih saja
belum sempat menemui Arjuna. Aku mau telepon, tapi seingatku, dia tak pernah
memberiku nomor HP. Manusia primitif satu ini memang istimewa sekali.
Sementara itu persoalanku sendiri
dengan Andin—istriku—muncul lagi. Persoalan yang sebetulnya sudah bisa diduga
dan diurai dengan mudah, tapi, sekali lagi, emosi dan tenaga kami habis disedot
pekerjaan. Siang dan malam hanyalah soal terang dan gelap belaka. Rumah
berkamar tidur dengan pendingin udara, bahkan bukan sebuah kesejukan di rumah
kami. Kami adalah dua orang yang saling bermusuhan diam-diam dan menyembunyikan
diri di balik laptop atau BB, untuk saling …entahlah. Aku bahkan kehilangan
semua kosakata, dan anehnya dia yang dulu terkenal bawel—dan itu yang membuatku
jatuh cinta—kini lebih bisu daripada batu.
Aku sendiri sudah tidak tahu lagi,
sudah berapa jauh jarak kehidupan cinta kami terentang. Sejak kapan hal itu
dimulai, kurasa dia pun tak punya jawaban. Yang ada hanyalah kami harus punya
foto perkawinan yang bahagia, senyum manis tak terkira dan handai taulan, sanak
saudara, kenalan, relasi, bos menganggap kami manusia bahagia yang patut
dijadikan contoh.
Beruntunglah Arjuna, barangkali dia
tidak menemukan neraka itu di rumahnya, karena dia hanya mengikatkan diri pada
mawarnya.
***
Siang itu di proyek, yang kurasakan
adalah tusukan sepi yang luar biasa. Di kantin, ketika makan siang, mataku
tertuju pada televisi yang menyiarkan peristiwa. Ah, ini membuatku kian merasa
terpuruk menjadi manusia; apa sebetulnya yang ingin kucari? Protes, demo,
penembakan oleh aparat, korupsi, artis dilecehkan, wartawan dan pelajar saling
jotos, guru menggampar murid, murid membunuh guru…;coba sebut satu saja yang
mampu memberikan harapan hidup lebih baik.
Tapi, ketika seorang penyiar
menyebut satu nama—sambil sedikit tersenyum, aku seperti tersengat lebah.
Arjuna jadi berita. Ah, pastilah kasus tanahnya. Ah, bagaimana dia? Kusimak
berita, tapi tak kulihat si Arjuna. Hanya ada massa yang kulihat mendukung
Arjuna—di halaman Kantor Pengadilan Negeri.
***
Entah mengapa, berita tv siang itu
menggangguku; paling tidak, telah berubah menjadi semacam isu di antara kami.
Sambil makan malam bersama kolega bisnis properti dan beberapa investor,
percakapan tentang Arjuna menjadi bagian dari menu malam itu. Aku tentu saja
harus bersama Andin, yang sejak semula harus merasa bahagia bersamaku.
”Andin, coba kalau kamu punya tanah
seluas itu dengan harga jual yang sangat bagus—di atas NJOP di wilayah itu—kamu
bertahan?” ucap bosku sambil menyuapkan potongan steik ke mulutnya.
Andin hanya tersenyum saja, menjawab
tanpa jawaban. Sempat kulirik senyumnya. Masih senyum yang dulu kukenali dan
kusukai. Sesaat kemudian pandangan kami bertemu di suatu sudut yang dulu pernah
kami singgahi; sudut kecil saja di kenanganku—paling tidak.
”Kalau saya, maaf, tanah itu tidak
akan saya jual…” entah mengapa, aku tiba-tiba seperti didorong oleh tenaga
aneh, meloncat begitu saja dari mulutku.
Meja makan seperti tersiram es. Aku
tahu, tak seorang pun boleh membantah ucapan bosku, karena dia adalah bos.
”Mmm…bukan itu jawaban yang aku
harapkan, apalagi dari kamu. Tapi, …mm…tolong, buat aku bisa memahami
’kebodohan’ yang…” dia menebar pandangan kemudian tertawa, diikuti orang
semeja. Kulihat Andin salah tingkah.
”Mmm…(aku menelan ludah)…maksud
saya, saya paham pada apa yang dilakukan Arjuna…”
”Ooo, jadi kamu kenal juga dengan si
Arjuna?” sela bosku, yang melanjutkannya dengan gelak tawa.
”Mmm…ya, Pak. Dia sahabat
sepermainan…”
”Maaf…bilang sama Arjuna, dia boleh
saja menikmati kemenangannya kali ini. Tapi itu tidak lama…”
Di perjalanan pulang, aku membisu.
Andin membeku. Entah mengapa, aku merasa tiba-tiba menjadi ancaman bagi Arjuna.
Entah mengapa, tiba-tiba Andin
membuka pembicaraan yang membuatku merasa kian bodoh. Bermula dari celaannya tentang
mengapa aku tiba-tiba berkomentar tentang pertanyaan yang bahkan bukan untukku,
sampai sebuah hubungan antara kantorku dengan Arjuna yang selama ini sama
sekali tak kusadari.
”Makanya, jangan asyik sendiri.
Jelas sekali, siapa pun tahu kalau kantormu itu gurita dengan sejuta tentakel.
Terus mau apa? Demi Arjuna dan mawarnya itu, kamu mau apa?”
Aku diam. Aku hanya ingin sampai di
rumah.
***
Sejak peristiwa makan malam itu, aku
jadi makin kehilangan kegembiraan bekerja. Semua perhatianku, bahkan mimpiku,
tersedot pada Arjuna dan mawarnya. Dan entah mengapa, di mata bosku, aku
seperti duri dalam daging. Kusadari semuanya tanpa perasaan apa-apa. Kuterima
semua penilaian atas dedikasiku selama ini, dari bosku, dengan jiwa kosong.
Aneh juga rasanya, tapi itulah yang kualami. Termasuk ketika bos menawariku
posisi lain di salah satu perusahaannya yang lain—untuk menghilangkan ’duri’
yang ada di ’daging’-nya, aku menolak dengan halus. Aku memilih duduk di
samping Arjuna yang tenang membuat wadah-wadah sederhana dari tapas kelapa dan
pelepah pisang.
***
Itulah yang kulakukan. Dan ketika
aku sampai di rumah Arjuna, aku dibuat terperangah. Rupanya, selama ini, ketika
proses pengadilan berlangsung, pihak ’pembeli’ bahkan sudah membangun bangunan,
memang belum finishing, tapi bangunan itu sudah berdiri. Ya, Tuhan, sudah
berapa lama aku tidak berhubungan dengan Arjuna?
Dan bangunan itu, oleh Arjuna
sengaja tidak dihancurkan. Orang gila satu ini memang selalu aneh-aneh. Dia
bahkan menggali tanah di sekeliling bangunan belum jadi itu dan menguruk
seluruh bangunan itu hingga menjelma bukit. Bukit tanah merah yang dikelilingi
parit dalam.
Kusaksikan orang-orang kampung yang
mendukung tindakan Arjuna di pengadilan sibuk melakukan ini-itu. Kami duduk di
tanah menatap ’bukit’ yang baru lahir itu.
”Apa yang akan kamu lakukan dengan
bukit ini?”
”Bayangkan, Tom. Ini nanti akan jadi
bukit mawar. Seluruhnya aku tanami mawar kampung.”
”Seluruhnya?” dan kudengar Arjuna
tertawa bahagia. Kemudian dia menyambung bahwa parit yang lebar dan panjang
mengelilingi bukit ini akan jadi lahan pemancingan, yang mengurusi nanti
adalah–dia menyebutkan beberapa nama yang kuduga orang kampung situ.
Sambil membayangkan di sana-sini
muncul warung makan kecil, dan orang-orang makan ikan bakar, atau sekadar minum
kopi, mereka menikmati ”keajaiban dunia”: bukit mawar. Arjuna bukan hanya
membangun keajaiban, bukan juga membangun mimpi, tetapi harapan bagi orang
banyak. Aku jadi kian merasa tak ada apa-apanya berhadapan dengan anak janda
penjual bunga di makam ini.
”Terima kasih, kamu mau datang,”
ucapnya dengan senyum mawarnya. ”mmm…ngajak mbak Andin, ya…”
Andin menyusulku? Dan kulihat Andin
gembira, gelak tawanya lepas, seperti murai yang berkicau di pagi hari, dia pun
mengoceh dan mengoceh. Aku terkunci dalam kebingunganku sendiri.
”Aku suka ini. Aku gembira ada yang
bisa memutus rantai kebekuan. Dan aku bangga, kau pun melakukan itu.” Ucapnya
dengan wajahnya, yang—ah, kenapa jadi cantik sekali?
”Aku tidak melakukan apa-apa…”
”Kau keluar dari gurita raksasa, itu
adalah sebuah perbuatan gila, sinting, tapi benar. Dan…aku bangga bahwa aku
masih punya seseorang yang mau berbuat benar.”
”Meskipun gila?” godaku.
”Plus sinting dan nekat,” tambahnya
diikuti gelak tawa.
***
Setelah dia jelaskan apa yang akan
dilakukannya dengan bukit itu, dia pun merangkak memanjat bukitnya. Di tangan
kanannya tergenggam sebatang mawar.
Sebuah ritual pun dimulai.